Tak jauh dari taman, sambil perlahan membenahi nafasnya yang sedikit berantakan ia melihat sesosok wanita tua, teramat sangat tua sekali begitu klasik dan rapuh. Bahkan berdirinyapun tak sempurna. Seperti bunga layu kering tanpa air. Wajah yang jelas kusut dan kebaya peninggalan penjajah dipadu batik jawa sebagai bawahan itulah setelan pakaian penutup tubuh kecil yang di topang kaki gemetar. Ia berdiri terpaku dengan tatapan mata yang mirip jumblangan sumur. Bingung di sibukkan oleh lalu-lalang kendaraan sepertinya dia ganjil oleh pertumbuhan jaman ataukah pikirannya masih tertinggal jauh di jaman sebelum masehi sedang tubuhnya berada di abad 21. dia ingin melintas tapi bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukan langkahnya sama sekali tak bergeming hanya mematung ditepi jalan menunggu seseorang yang mau menolong atau malaikat penyabut nyawa yang menjemput,..jalan raya itu tampak seperti samudra penuh buaya yang siap melahapnya. Sepertinya tidak ada satupun orang yang memperdulikannya meski mereka mempunyai mata dan otak yang cukup waras yang bisa di gunakan untuk memahami kondisi nenek saat ini. Amare menghampiri dan membantunya menyebrang. “Terima kasih gadis cantik,” “sepertinya lain kali kalau aku menyebrang aku harus bawa speaker dan bernyayi supaya ada orang yang tahu bahwa orang tua ini butuh bantuan,” katanya nenek sambil berjalan dan menggegam erat tangan amare, di sebrang jalan amare menjawab perkataan nenek yang hampir basi itu tadi. “nek lain kali kalau mau kemana-mana mending diantar anak atau cucu nenek.” “iya.” Jawabnya lugu seperti anak kecil yang takut menatap muka ibunya karena ketahuan mencuri mangga tetangga. Tapi tangan nenek tak jua lepas atas genggamannya, muka lugunya kemudian disulap menjadi wajah malaikat maut, matanya menyorot tajam memandang kosong. Sepertinya ia mentranfer jiwanya ke alam lain, mulut yang tertutup hampir tanpa gigi meluap, menyemprot kata-kata untuk amare “kau akan mengalami perjuangan yang berat setiap hari nak, dan kamu akan menemui kegagalan setiap harinya”. “Semakin kau jauh tenggelam semakin dekat kamu dengan kehancuran dan penyesalan bukanlah jalan yang tepat.” “ keegoisanmu akan menghancurkanmu menghapus sebagian jiwamu, maka segeralah berkaca pada peristiwa itulah yang akan menjadi jalan satu-satunya’” seketika mulutnya tertutup dan tersenyum tipis pandangannya tak lagi kosong ia menarik jiwanya kembali lalu berpaling tanpa ucapan selamat tinggal bahkan selamat pagi kepada amare, ia berjalan sedikit-demi sedikit menjauh, tubuhnya yang setengah membungkuk masih bisa terlihat dari jauh sebagai tanda bahwa itu masih si nenek-nenek aneh yang bahkan sepertinya tak lenyap dalam kegelapan kalaupun seandainya dia adalah nenek sihir, amare masih mengamati pergerakan semu si nenek, masih kurang puas mengkhawatirkannya hingga akhirnya si nenek benar-benar lenyap ditelan jarak. Paling tidak itulah yang amare pikirkan dikala 25 menitnya berdiri tepaku sebelum akhirnya menganggap uacapan nenek sebagai angin lalau yang berhembus dari gua primitif tanpa gigi. Amare yang lebih logika tak pernah percaya dengan ramalan, ia belari kecil dan kembali ke taman kendedes dimana dia biasa duduk sambil mencari inspirasi buat puisi-puisinya,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar