BAB I
Hari yang paling menegangkan bagi seorang gadis belia, dimana ia sedang duduk di antara pesaing-pesaing dalam satu tujuan. Gadis bernama lengkap Intan Amare yang biasa di panggil singkat Amare, dipaksa untuk menguras habis imajinasinya lalu di interpretasikan kedalam setiap bait puisi yang tentunya tertuju pada satu pola pikir yang terikat oleh tema pilihan. Suasana yang mencekik seolah suhu udara semakin menipis hingga tak jarang dari mereka(peserta Lomba Puisi Tingkat SD) menghela nafas untuk menghirup penuh udara yang tersisa, sepi tiada suara di ruangan sekecil itu, meski penuh dengan manusia hanya suara dinding yang tedengar sayup berdetak.
Seiring pikiran tercurah, jam dinding terus berpacu dengan waktu, jarum yang angkuh melangkah-langkah pada setiap titik demi titik. Satu jam kurang 30 menit, mau tidak mau harus ditutup dengan perasaan puas untuk sebuah karya tulis yang akan di adu. Mata juri memandang luas kedepan seperti kucing yang sedang mencari mangsa bersiap untuk mengakhiri segalanya. Diluar jendela persegi tampak sesosok wanita baya sederhana, sedang gelisah menunggu anaknya dengan wajah bimbang penuh Do’a, berharap ia bisa membantu anaknya. Meski tahu ia hanya bisa menunggu bersama ibu-ibu peserta lain sampai lomba itu selasai.
Kemudian seorang bocah kecil menyapanya pelan-pelan. “Bu Lia” sepertinya dia mengenal betul siapa wanita itu dan anaknya yang bernama Amare. Bocah ini bernama Heru Nazix tetangga dekat sekaligus sahabat cinta sejak dalam bandulan hingga seterusnya. Keluarga keduanya sangat dekat, membaur dengan perasaan suka tanpa duka. Bu Lia yang seorang janda dengan satu anak menganggap Nazix sebagai anak kedua baginya, yang terlahir dari perut Abu jalal dan istrinya Darmini (Ayah dan Ibu Nazix). “Bulia gak usah khawatir,” kata Nazix “bukannya Amare selalu juara satu dalam setiap perlombaan puisi.” Sahutnya lagi. ucapan itu, Untuk sejenak mengendorkan urat syaraf otak Bu Lia yang tercengan beberapa waktu. Yang dikatakan Nazix memang tidak salah, selama SD Amare selalu memenangkan lomba puisi, itu bisa di lihat dari koleksi piala lomba puisi yang di pajang di lemari ruang tengah seperti tumpukan meraksasa dalam setiap periode.
Tapi yang ada dalam pikiran bu Lia lebih dari itu, lebih dari sekedar kemenangan untuk menerbitkan kebahagiaan sekilas, dihias tawa-tawa lebar di depan kamera. Memang seperti itulah yang amat sangat di harapkan Amare, maka lengkaplah koleksi piala-piala yang telah disiapkan ruang untuk menempatkannya. Akan tetapi jika hal itu tak akan pernah terwujud mungkin perasaan Amare akan jatuh deras kebawah, seperti bom Atom yang dilesatkan dari atas langit, kemudian meledak berhamburan meratakan bangunan yang awalnya kokoh. Tak ada seorangpun yang tahu perasaan Amare seelain orang yang telah mengeluarkan segumpal daging itu dari perutnya, yang setiap pagi berharap kebahagiaan slalu datang dalam hidupnya yang sejalan dengan kalimat-kalimat indah dalam puisi yang selalu dia buat. “Iya Zix,” kamu memang benar kita berdo’a saja supaya Amare bisa tegar menghadapi apapun yang akan terjadi nanti,” jawab bulia sambil menunjukkan lesung pipi yang di hias keruta-kerutan kecil tanda perjuangan kerasnya hidup, tapi tak sanggup menutupi cermin gelisah hati yang terpancar di sorot matanya. Selama ini Amare memang anak yang selau periang dan penuih semanagat, keinginannya kuat melebihi beton-beton tembok besar china, cita-citanya yang begitu tinggi, menjulang kelangit seakan bisa tercapai tanpa secuil halangan. Tak pernah ia patah semangat dalam usahanya, mungkin karena kegagalan belum sempat menjenguknya. Seandainya kegagalan mulai berpikir untuk sejenak singgah pada dirinya mungkin dia tidak akan bisa menahan luka robek hati yang akan membuatnya terpuruk. Keyakinannya runtuh seperti ketombe yang tergilas rambut dan harapanpun tinggal kenangan. Seandainya kegagalan datang pada lomba terakhir Amare maka bisa dikata ini merupakan raja dari segala kegagalan, Setan bertanduk merah yang sangat jahat, penghuni relung-relung Neraka yang datang untuk membinasakan hati seseorang disaat keyakinan dan harapan membumbung ke angkasa raya.
Tigapuluh menit telah berlalu begitu cepat, seakan dunia diputar oleh pikiran gelisah dan kecemsan-kecemasan yang membabibuta. Amare keluar dari ruang lalu berlari kecil menumbuk separuh badan ibunya yang sudah menanti di depan pintu. Kemudian ibunya membungkuk mengendorkan pelukan cinta yang begitu erat, seiring itu Nazik datang menghampiri mereka berdua, “bagaimana Amare, ?” “bisa” ucap Nazix dua kali. “Bisa” balas Amare penuh percaya diri. Sungguh hari itu seperti jalan pintas melewati hari yang panjang. Sinar matahari sudah hampir menua bersembunyi di sela-sela dedaunan kebun mangga belakang sekolah SD Taman Harapan, burung-burung malam mulai berterbangan, menyuarakan sinyal persiapan pesta malamnya.
Sampailah disaat dimana hal yang hampir gersang dinanti-nanti, yaitu pengumuman pemenang lomba puisi yang akan di umumkan oleh kepala sekolah, mix pun mulai berciuman mesrah dengan kepala sekolah dengan pidato-pidato kecil beserta sambutan-sambutan basi di perdendangkan disertai tepuk tangan palsu orang-orang yang telah menunggu dan menjamur “ para peserta diharap naik ke atas panggung,” suara dari seorang guru cantik yang menjadi MC acara lomba puisi untuk perpisahan itu, dengan nada sedikit lancang memotong pidato kepala sekolah yang masih belum lengkap, dengan maksud mempersingkat waktu yang tinggal sedikit sebelum para orangtua dan peserta mulai berpikir acara ini seperti sabun mandi. Kemudian satu persatu para peserta lompa puisi itu naik ke atas panggung, Amare berada di barisan nomer 8 dari 14 peserta, tepuk tangan kecil dan senym manis pak sekolah menyambut mereka di atas panggung, tepuk tangan para ibu-ibu mereka juga seolah mengiringi seperti dalam pementasan opera, kemudian peserta itu berdiri tepat di belakang kepala sekolah yang masih belum selesai dengan micnya, sepertinya dia masih ingin menyelesaikan misi suci pidato konyol tentang pendidikan di negri ini. “Terima kasih atas sambutannya yang meriah, sebelunya saya ingin memberitahukan bahwa lomba puisi ini sebagai pengisi acara perpisahan sekaligus penyeleksian bagi anak yang berbakat dalam menciptakan puisi untuk bisa mengikuti lomba puisi seindonesia, yang hadiahnya adalah beasiswa School of Art di Italia. “Dan pemenag juara satu puisi terindah adalah……….???? Amare,….,” suara dari kepala sekolah yang tiba-tiba PLAK……PLIK….PLUKKKKKKK suara tepuk tangan serentak menghias suasana yang begitu membahagiakan sekaligus haru kalbu perasaan Amare dan ibunya, begitu juga perasaan Nazix. Matanya berbinar dengan sorot tajam memandang ibunya dengan perasaan suka yang tak terhingga ibunya membalas sorotan itu dengan pancaran keyakinan, , ,5 menit mereka adu pandang Air mata menetes tak tersadari dan Nazix melempar senyum penghabisan buat Amare.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar